KALAM

Derajat Ihsan itu Meninggikan Kemuliaan Diri

Seorang yang berada dalam kondisi marah, dengan sangat emosi, bahkan dendam yang membara dalam hatinya, namun bila dapat menahannya dan justru menunjukkan perbuatan baik yang ikhlas dan sepenuh jiwa

SumselNews.com – “Derajat ihsan merupakan tingkatan tertinggi keislaman seorang hamba. Tidak semua orang bisa meraih derajat yang mulia ini. Hanya hamba-hamba Allah yang khusus saja yang bisa mencapai derajat mulia ini. Bila kita ingin meraihnya maka perbuatan baik dalam segala hal yang dapat mewujudkannya.”

Seorang yang berada dalam kondisi marah, dengan sangat emosi, bahkan dendam yang membara dalam hatinya, namun bila dapat menahannya dan justru menunjukkan perbuatan baik yang ikhlas dan sepenuh jiwa, maka itulah sesungguhnya ihsan yang dimaksud.

Ustads H Mugiono, M.Pdi, yang menyampaikan Kajian Hadist, Pada Ahad lalu, di Masjid Al Furqon Palembang mengupas soal pengertian dan bagaimana sebenarnya seseorang sampai pada derajat ihsan.

Dijabarkan Mugiono, tingkatan agama yang paling tinggi adalah ihsan, kemudian iman, dan paling rendah adalah Islam. Kaum muhsinin (orang-orang yang memiliki sifat ihsan) merupakan hamba pilihan dari hamba-hamba Allah yang shalih. Oleh sebab itu, sebagian ulama menjelaskan jika ihsan sudah terwujud berarti iman dan islam juga sudah terwujud pada diri seorang hamba.

Jadi, setiap muhsin pasti mukmin dan setiap mukmin pasti muslim. Namun tidak berlaku sebaliknya. Tidak setiap muslim itu mukmin dan tidak setiap mukmin itu mencapai derajat muhsin. Orang yang ihsan adalah hamba pilihan dari hamba-hamba Allah yang shalih. Oleh karena itu, di dalam al Quran disebutkan hak-hak mereka secara khusus tanpa menyebutkan hak yang lainnya.

Baca Juga:   Dibalik Musibah, Pasti Ada Balasan yang Besar dan Jalan Kemudahan

Digambarkan pula, bahwa mencintai orang lain laksana mencintai diri sendiri merupakan ajaran yang sangat mulia. Merasa tak pernah cukup dalam urusan materi kerap menjadi benteng kokoh, penghalang menebarkan kebaikan kepada sesama. Di situlah jihad besar dilakukan, mengendalikan hawa nafsu serakah yang tidaklah mudah.

Iman yang Sempurna

Dalam menyempurnakan keimanan, antara kesalehan individu dengan kesalehan sosial atau berbuat kebaikan yang ikhlas harus selaras. Akidah kokoh dalam jiwa harus dipancarkan dalam kebaikan yang nyata, sehingga bisa dirasakan sesama.

Kesalehan sosial dan individual yang menyatu akan menjadi tameng tangguh dari godaan keserakahan. ”Jika anak Adam memiliki satu lembah emas, dia akan mencari agar menjadi dua lembah dan tidak ada yang akan menutup mulutnya melainkan tanah. Dan, Allah menerima tobat orang yang bertobat.” (HR Bukhari dan Muslim No 1049).

Kecenderungan kecintaan kepada tahta, harta, dan wanita sering kali membutakan mata hati. Belas kasih, kepedulian kepada sesama menjadi sirna. Berlomba-lomba mengumpulkan harta tiada batas, lalai pada ibadah, hingga akhir dari kehidupan.
Ada sebuah kisah pada masanya yang diambil dari Kisah para Sahabat, Suatu hari keluarga Ali bin Abi Thalib RA dan Fatimah Az-Zahra kedatangan seorang fakir yang meminta makanan. Saat itu, keduanya sedang bersiap-siap untuk makan.  Dengan penuh kasih sayang, Ali dan Fatimah pun memberi makanan yang akan mereka santap dan memilih berpuasa.

Baca Juga:   Make your Investment wisely

Besoknya, kejadian itu berulang lagi, bahkan hingga tiga hari berturut-turut. Keluarga putri Rasulullah SAW tersebut akhirnya harus berpuasa.,   Begitulah teladan dari mukmin sejati. Ali dan Fatimah begitu peduli terhadap sesama. Tak harus menunggu lapang untuk peduli dan berbagi.

Rasulullah SAW bersabda, ”Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian, sehingga ia mencintai saudaranya dengan segala apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri, berupa kebaikan.” (HR Bukhari-Muslim).

Dalam hidup ini, ujar Ustadz Mugiono, kalaupun perbuatan kebaikan kepada seseorang malah dibalas dengan keburukan, berprasangka baiklah kepada Allah SWT, bahwa Allah menyayangi dan akan membalas semua kebaikan dengan drajat kemuliaan dan ketenangan jiwa atau yang setimpal dengan itu.

Tetaplah berbuat baik dan tak harus membalasnya. Percayalah, Allah SWT Yang Maharahman dan Rahim akan membalasnya. Tak akan pernah kebaikan bertukar dengan keburukan.  Bila tidak besok, nanti atau anak cucu kita yang akan merasakan buahnya. Teruslah menebar peduli maka hidup ini akan merasakan bahagia tiada henti. Wallahu’alam.(*)

Penulis: Bangun Lubis

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button