LIFEOPINI

Wartawan, antara Terget Pembunuhan dan Tugas Profesional

Sebanyak 44 %  dari jumlah wartawan yang tewas itu memang sungguh-sungguh menjadi target pembunuhan, karena dinilai menjadi ‘penganggu’ bagi sekelompok tertentu.

 *Oleh : Bangun Lubis

Kita begitu tersentak ketika Associated Press (AP) menyuguhkan data yang memilukan karena sebanyak 60 orang wartawan tewas sepanjang tahun 2014. Sebanyak 44 %  dari jumlah wartawan yang tewas itu memang sungguh-sungguh menjadi target pembunuhan, karena dinilai menjadi ‘penganggu’ bagi sekelompok tertentu.

Data yang dilansir   oleh Komite Perlindungan Wartawan (CPJ), organisasi yang berbasis di New York, Amerika Serikat, Selasa (23/12/2014) lalu, adalah berita yang menyedihkan kalangan jurnalis se dunia. Apalagi diketahui bahwa pembunuhan wartawan termasuk di Indonesia juga adalah berdasarkan ketidakpuasan atas karya jurnalistik mereka yang sungguh-sungguh mengedepankan independensi.

Menegetahui data ini, tentu merupakan kekhawatiran sekaligus tentangan bagi para wartawan agar menyadari betapa sebenarnya ‘peluru-peluru’  yang mematikan itu masih terus bergentayangan dan siap membunuh wartawan berikutnya. Namun, sesuai dengan kaedah profesionalisme dan tugas sebagai seorang wartawan, kenyataan ini  bukan pula harus menjadi momok yang menakutkan, karena profesi yang diemban sebagai wartawan,  bertujuan untuk  membangun masyarakat dunia yang damai, adil dan terbebas dari kesewanang-wenangan apalagi penjajahan.

Walaupun semakin banyak wartawan yang menjadi target pembunuhan, selalulah dalam kondisi istiqomah untuk menjalankan profesi yang mulia itu.’

Dilindungan UUD ‘45

Sebagaimana dalam  Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, pers atau wartawan sebagai profesi, memiliki tugas yang cukup mulia. Tugas mulia itu, tentu menjadi dasar pegangan bagi seorang wartawan untuk tetap komitmen dengan profesinya. Lalu Ia juga memiliki kebebasan untuk memberitakan sesuatu atas dasar  sikap independen.

Wartawan bukanlah orang yang sembarangan dalam menulis berita, tetapi ia menyuguhkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak memiliki itikat buruk. Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik. Semua tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Karena kemerdekaan pers (wartawan) adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia.

Melihat tujuan dan kebebasan serta tugas pokok wartawan, maka tidak ada alasan bagi seorang wartawan untuk surut dan khawatir terhadap progfesi yang diembannya sebagai seorang profesionalis. Sekalipun ‘maut’ menghadang tentu tugas-tugas wartawan tak perlu berhenti. Ia juga sama dengan profesi lainnya yang memiliki tugas pokok dalam berapa menyampaikan kebenaran atas sesuatu informasi yang dilakukannya.

Baca Juga:   Ridwan Kamil Unggah Foto dengan Rambut Putih, Merespon Jokowi

Banyak orang yang masih awam dengan profesi wartawan (jurnalis) atau kegiatan perss ini. Mereka menganggap, tugas dan tanggungjawab dari hasil produk pers hanya sebagai informasi yang berlalu begitu sudah dibaca. Ini pengetahuan yang keliru tentunya. Wartawan atau kegiatan perss begitu besar manfaatnya bagi pencerdasan bangsa. Bagi mereka yang ingin memperoleh informasi berita-bertita wartawan tentu amat ditunggu, karena informasi itu bisa jadi menjadi data penting dalam mengambil kesimpulan atas ebuah kebijakan. Walaupun itu bahkan untuk sebuah kebijakan negara.

Amerika misalnya telah memanfaatkan penyamaran mereka sebagai wartawan di sebuah negara yang ingin mereka ‘taklukkan’ baik ekonomi maupun untuk kepentingan politiknya.  Studi intelijen telah membuktikan bahwa 70% agen-agen intelijen di daerah pertempuran bergerak dengan menyamar sebagai wartawan, dan 20% bergerak dengan menyamar sebagai tim medis, dan penyamaran sisanya tergabung dalam 10%.

Inilah yang dikatakan Thomas Fredman dalam artikel terakhirnya di “New York Times” saat dia mempertanyakan keefektifan serangan udara kepada sebuah daerah wilayah Islam. Fredman memandang peran wartawan adalah sesuatu yang penting dalam perang. Wartawan adalah mata-mata di darat untuk Amerika; yang melaluinya Amerika bisa menilai situasi dari informasi yang dikirimkan.

Pers Dalam Islam 

Menurut Ziauddin Sardar dalam bukunya Tantangan Dunia Islam Abad 21, menuliskan betapa infomrasi perss begitu dipentingkan dan menjadi awal dari sebuah perkembangan politik, ekonomi dan sosial budaya berikutnya.

Persoalan jurnalistik, telah diperkenalkan Rasulullah saw yakni melalui sepucuk surat ajakan untuk masuk Islam kepada Kaisar Persia. Lebih  dari itu pembukuan al-Quran yang kita kenal dengan mushaf dalam  perspektif jurnalistik, al-Quran adalah karya jurnalistik juga, yakni diformat dalam buku yang isinya firman-firman Allah swt.

Begitu pun, karya jurnalistik adalah kitab-kitab kumpulan hadist seperti Shahih Bukhari dan Shahih Muslim , dan sebagainya. Semua kegiatan ini adalah profesi seorang wartawan (jurnalis). Profesi sebagai wartawan (jurnalis) dalam masyarakat sangatlah penting, sama pentingnya dengan peran yang dimainkan  oleh para ilmuwan, cendikiawan dan para ulama.

Sebah tulisan wartawan senior Indonesia  Rosihan Anwar, dalam HU. Suara Pembaruan, (1995) wartawan begitu penting kehadirannya dalam kancah kehidupan negara.  Dalam sebuah negara yang demokratis, di mana kekuasaan berada di tangan rakyat, publik punya hak kontrol terhadap kekuasaan agar tidak terjadi penyalah gunaan kekuasaan.

Baca Juga:   Sandang Gelar Kuyung - Kupek Muba 2022

Hal itu sebagaimana adagium dalam dunia politik yang sangat terkenal, yang diangkat dari kata-kata Lord Acton, sejarawan Inggris (1834 – 1902), “The power tends to corrupt, the absolute power tends to absolute corrupt” (Kekuasaan cenderung korup, kekuasaan yang mutlak cenderung korup secara mutlak). Sebagai konsekwensi dari hak kontrol tersebut, segala hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak (publik, rakyat) harus dapat diakses (diinformasikan, diketahui) secara terbuka dan bebas oleh publik, dalam hal ini pers.

Dalam kondisi seperti itulah dibutuhkan pers yang secara bebas dapat mewakili publik untuk mengakses informasi. Dari sinilah bermula apa yang disebut “pers bebas” (free press) atau “kebebasan pers” (freedom of the press) sebagai syarat mutlak bagi sebuah negara yang demokratis dan terbuka. Begitu pentingnya freedom of the press tersebut, sehingga Thomas Jefferson, presiden ketiga Amerika Serikat (1743 – 1826), pada tahun 1802 menulis, “Seandainya saya diminta memutuskan antara pemerintah tanpa pers, atau pers tanpa pemerintah, maka tanpa ragu sedikit pun saya akan memilih yang kedua.” Padahal, selama memerintah ia tak jarang mendapat perlakuan buruk dari pers AS.

Mengapa kebebasan pers sangat penting dalam sebuah negara demokratis? Sebab, kebebasan pers sesungguhnya merupakan sarana bagi publik untuk menerapkan hak-hak sipil sebagai bagian dari hak asasi manusia. Salah satu hak sipil itu ialah hak untuk mengetahui (the right to know) sebagai implementasi dari dua hak yang lain, yaitu kebebasan untuk berbicara atau berpendapat (freedom to speech) dan kebebasan untuk berekspresi (freedom to expression). Dengan demikian, kebebasan pers bukanlah semata-mata kepentingan pers (sekali lagi: kebebasan pers bukanlah semata-mata kepentingan pers), melainkan kepentingan publik. Namun, karena publik tidak mungkin mengakses informasi secara langsung, maka diperlukanlah pers sebagai “kepanjangan tangan” atau “penyambung lidah.”(*)

* Sekjen Forum Wartawan Islam Indonesia (FWII)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button